Tuesday, May 18, 2010

Teknologi Pengolahan Limbah

I. Limbah B3

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Adapun daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
o jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
o jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
o pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
o peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar
Pemilihan proses yang tepat didahului dengan mengelompokkan karakteristik. Pada akhirnya, teknologi yang dipilih haruslah teknologi yang tepat guna sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah. Setelah pertimbangan-pertimbangan detail, perlu juga dilakukan studi kelayakan atau bahkan percobaan skala laboratorium yang bertujuan untuk:
o Memastikan bahwa teknologi yang dipilih terdiri dari proses-proses yang sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah.
o Mengembangkan dan mengumpulkan data yang diperlukan untuk menentukan efisiensi pengolahan yang diharapkan.
o Menyediakan informasi teknik dan ekonomi yang diperlukan untuk penerapan skala sebenarnya.


II. Teknologi Pengolahan

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification / Stabilization, dan incineration.
1. ChemicalConditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
o menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
o mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
o mendestruksi organisme patogen
o memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
o mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :
o Concentrationthickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
o Treatment,stabilization,andconditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
o De-wateringanddrying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
o Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.

2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification / stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
o Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
o Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
o Precipitation
o Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
o Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
o Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Selain Insinerasi dapat pula dilakukan pirolisa dan gasifikasi. Dimana Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.


III. Penanganan Limbah B3

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya.
Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti.
Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.


IV. Pembuangan Limbah B3 (Disposal)

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
1. Landfill
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.
2. Well
Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.


V. Pemanfaatan Limbah

Hal yang sungguh menarik adalah beberapa pengembangan yang sedang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia yang diambil dari cuplikan artikel dari sumber sumber tertentu, sbb:
1. Gas Hidrogen (H2) dan sampah kulit telur
(sumber: Neil Gross, Bussines Week, November, 28,2007)
Setiap tahun warga AS mengonsumsi puluhan milyar butir telur. Ternyata dari kulit telur para peneliti dapat membuktikan bahwa gas hydrogen dapat diproduksi dengan bantuan zat yang ada di dalam kulit telur. Gas hydrogen banyak digunakan di kilang minyak dan kelak dapat juga sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan karena akan menghasilkan H2O (uap air) jika dibakar. Secara sederhana dapat dijabarkan sbb:
“Komposisi utama penyusun kulit telur adalah kalsium karbonat yang wujudnya bisa dikonversi menjadi kapur perekat. Ketika larutan gas dari arang bereaksi dengan uap, kulit telur yang kini berwujud kapur perekat menyaring CO2 sehingga yang tertinggal sebagian besar adalah H2. Komposisi kulit telur adalah salah satu pengikat CO2 yang paling efisien dari semua bahan yang diteliti.”
2. Produksi “green steel” – produksi besi baja dari sampah plastik
(sumber: Louise Williams, Making “green steel” a reality, Jakarta Post, November 13, 2007)
Sampah plastik yang kadang berwujud dari berbagai jenis, telah dibuktikan mampu sebagai bahan pengganti bahan baku di proses pembuatan besi baja. Pertanyaan simpel yang muncul adalah bagaimana hal ini dapat terjadi? Jawaban secara scientificnya juga relatif simpel karena di dalam fasilitas arc furnace yang ada di pabrik besi baja perlu ditambahkan batubara (bisanya jenis anthracite) untuk mendorong terjadinya reaksi karbon pada temperatur tinggi. Batubara ini dapat digantikan dengan sampah plastik. Hal ini telah dilakukan di Australia (pabrik besi baja “onesteel” Australia – sebagai salah satu pemegang lisensi ini yang bekerja sama dengan UNSW – Universitas New South Wales). Dalam proses ini dapat di hemat energy sebesar 11.1 kWh per ton produk besi baja, dan emisi nya juga relative lebih bersih.
3. Bahan Baku Alternatif Dari Limbah
Di Indonesia beberapa limbah industri dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku pembuatan semen. Limbah tersebut bisa dimasukkan pada proses raw mill atau pada proses cement mill. Beberapa limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif pada industri semen antara lain terlihat pada tabel dibawah ini.
No. Bahan Baku Limbah (Bahan Baku Alternatif) Input pada Pabrik Semen
1 Silicon (Si) Used Foundry Sand Raw Mill
Molding sand (Mortar) Raw Mill
2 Calcium (Ca) Limestone/ chalk Raw Mill/ Cement mill
Foam concrete granulates Raw Mill
Calcium fluoride Raw Mill
3 Iron (Fe) Iron slag Raw Mill
Cooper slag Raw Mill
Dust EAF Raw Mill
Iron scale Raw Mill
Blast furnace & converter slag Raw Mill
Iron ore Raw Mill
Pyrite cinder Raw Mill
4 Aluminium (Al) Industrial sludge Raw Mill
5 Si – Al – Ca Blast furnace slag Raw Mill
Fly ash, Raw Mill
Ash from low quality Coal, Coal tailing Raw Mill/ Cement mill
Paper residuals Raw Mill
Ashes from inceneration processes Raw Mill/ Cement mill
Spent catalyst Cement mill
Trass Raw Mill/ Cement mill
6 Si – Al Clay Raw Mill
Bentonite / Kaolinite Raw Mill
Recidues from coal pre treatment Raw Mill
Crash glass Raw Mill
7 S Natural Gypsum Cement Mill
Chemical gypsum Cement Mill
Other gypsum from the chemical or ceramic industries Cement Mill
(sumber: Agus Erfien, Indocemen, 2006 )
Pada saat ini beberapa pabrik semen di Indonesia telah dan sedang memanfaatkan cangkang (kernel shell) dari kelapa sawit sebagai alternatif fuel. Sedangkan di Eropa alternatif fuel yang banyak dimanfaatkan adalah ban bekas dan limbah sludge domestik. Limbah padat yang bisa dimanfaatkan sebagai alternatif fuel lainnya antara lain: sludge (paper fiber, WWT sewage), packaging waste, carbon fly ash, bottom ash, paint residue, waste plastics, dan biomas seperti: rice husk, palm kernel shell, wastewood, baggase, waste paper, dan waste rubber. Sedangkan limbah cair yang dapat dipergunakan sebagai alternatif fuel anatara lain: waste oil & oiled water, sludge oil, slope oil & recovery oil, solvents dll.
Unsur-unsur kimia yang sangat diperlukan dalam pembuatan semen adalah Silicon (Si), Calcium (Ca), Besi (Fe), Alumunium (Al) dan Sulfur (S). Unsur unsur kimia yang diperlukan tersebut dapat diperoleh dari bahan baku utama proses produksi pabrik semen yang terdiri dari batu kapur, tanah liat, pasir silika, dan pasir besi serta bahan penolong berupa gypsum. Beberapa limbah industri dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku pembuatan semen. Limbah tersebut bisa dimasukkan pada proses raw mill atau pada proses cement mill.
Mengingat proses produksi semen ini menggunakan suhu yang sangat tinggi terutama pada proses pembakaran pada rotary kiln (1500 C), suhu dimana pembakaran limbah akan menghasilkan pembakaran sempurna. Namun demikian negara negara Eropa seperti Jerman dan Spanyol, telah memberlakukan peraturan yang ketat bagi limbah yang akan dimanfaatkan sebagai alternative bahan baku maupun bahan bakar. Limbah tersebut antara lain tidak boleh memiliki kandungan merkuri dan halogen melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan (Hg<10 mg/Kg, Halogen (Cl)<0.25%, dll).


VI. Kesimpulan
Solusi terbaik dari pengolahan limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri. Untuk meminimalkan biaya dan usaha yang harus dikeluarkan untuk pengolahan limbah ini dapat diterapkan produksi bersih (cleaner production) yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-bagian proses.
Tetapi ini harus diawali dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku manajemen. Setelah itu lebih baik lagi jika dilakukan penerapan : Reduce, recyle, and reuse.

No comments:

Post a Comment

ditunggu commentnya...