Tuesday, May 18, 2010

Teknologi Pengolahan Limbah

I. Limbah B3

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Adapun daftar lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:
o jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang juga perlu dipertimbangkan
o jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1 hingga 2 tahun ke depan)
o pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
o peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar
Pemilihan proses yang tepat didahului dengan mengelompokkan karakteristik. Pada akhirnya, teknologi yang dipilih haruslah teknologi yang tepat guna sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah. Setelah pertimbangan-pertimbangan detail, perlu juga dilakukan studi kelayakan atau bahkan percobaan skala laboratorium yang bertujuan untuk:
o Memastikan bahwa teknologi yang dipilih terdiri dari proses-proses yang sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah.
o Mengembangkan dan mengumpulkan data yang diperlukan untuk menentukan efisiensi pengolahan yang diharapkan.
o Menyediakan informasi teknik dan ekonomi yang diperlukan untuk penerapan skala sebenarnya.


II. Teknologi Pengolahan

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification / Stabilization, dan incineration.
1. ChemicalConditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari chemical conditioning ialah:
o menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
o mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
o mendestruksi organisme patogen
o memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
o mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :
o Concentrationthickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
o Treatment,stabilization,andconditioning
Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
o De-wateringanddrying
De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
o Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.

2. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification / stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
o Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
o Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
o Precipitation
o Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
o Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
o Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali
Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik. Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit, multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.
Selain Insinerasi dapat pula dilakukan pirolisa dan gasifikasi. Dimana Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.
Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar 900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.


III. Penanganan Limbah B3

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya.
Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya. Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.
Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan korosi.
Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah, pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah ke lingkungan dalam jumlah yang berarti.
Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk dan di dinas pemadam kebarakan.


IV. Pembuangan Limbah B3 (Disposal)

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia, peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
1. Landfill
Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.
Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate), dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup, tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di sekitarnya.
Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.
2. Well
Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun 1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.
Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.
Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.
Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam (deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.


V. Pemanfaatan Limbah

Hal yang sungguh menarik adalah beberapa pengembangan yang sedang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia yang diambil dari cuplikan artikel dari sumber sumber tertentu, sbb:
1. Gas Hidrogen (H2) dan sampah kulit telur
(sumber: Neil Gross, Bussines Week, November, 28,2007)
Setiap tahun warga AS mengonsumsi puluhan milyar butir telur. Ternyata dari kulit telur para peneliti dapat membuktikan bahwa gas hydrogen dapat diproduksi dengan bantuan zat yang ada di dalam kulit telur. Gas hydrogen banyak digunakan di kilang minyak dan kelak dapat juga sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan karena akan menghasilkan H2O (uap air) jika dibakar. Secara sederhana dapat dijabarkan sbb:
“Komposisi utama penyusun kulit telur adalah kalsium karbonat yang wujudnya bisa dikonversi menjadi kapur perekat. Ketika larutan gas dari arang bereaksi dengan uap, kulit telur yang kini berwujud kapur perekat menyaring CO2 sehingga yang tertinggal sebagian besar adalah H2. Komposisi kulit telur adalah salah satu pengikat CO2 yang paling efisien dari semua bahan yang diteliti.”
2. Produksi “green steel” – produksi besi baja dari sampah plastik
(sumber: Louise Williams, Making “green steel” a reality, Jakarta Post, November 13, 2007)
Sampah plastik yang kadang berwujud dari berbagai jenis, telah dibuktikan mampu sebagai bahan pengganti bahan baku di proses pembuatan besi baja. Pertanyaan simpel yang muncul adalah bagaimana hal ini dapat terjadi? Jawaban secara scientificnya juga relatif simpel karena di dalam fasilitas arc furnace yang ada di pabrik besi baja perlu ditambahkan batubara (bisanya jenis anthracite) untuk mendorong terjadinya reaksi karbon pada temperatur tinggi. Batubara ini dapat digantikan dengan sampah plastik. Hal ini telah dilakukan di Australia (pabrik besi baja “onesteel” Australia – sebagai salah satu pemegang lisensi ini yang bekerja sama dengan UNSW – Universitas New South Wales). Dalam proses ini dapat di hemat energy sebesar 11.1 kWh per ton produk besi baja, dan emisi nya juga relative lebih bersih.
3. Bahan Baku Alternatif Dari Limbah
Di Indonesia beberapa limbah industri dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku pembuatan semen. Limbah tersebut bisa dimasukkan pada proses raw mill atau pada proses cement mill. Beberapa limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku alternatif pada industri semen antara lain terlihat pada tabel dibawah ini.
No. Bahan Baku Limbah (Bahan Baku Alternatif) Input pada Pabrik Semen
1 Silicon (Si) Used Foundry Sand Raw Mill
Molding sand (Mortar) Raw Mill
2 Calcium (Ca) Limestone/ chalk Raw Mill/ Cement mill
Foam concrete granulates Raw Mill
Calcium fluoride Raw Mill
3 Iron (Fe) Iron slag Raw Mill
Cooper slag Raw Mill
Dust EAF Raw Mill
Iron scale Raw Mill
Blast furnace & converter slag Raw Mill
Iron ore Raw Mill
Pyrite cinder Raw Mill
4 Aluminium (Al) Industrial sludge Raw Mill
5 Si – Al – Ca Blast furnace slag Raw Mill
Fly ash, Raw Mill
Ash from low quality Coal, Coal tailing Raw Mill/ Cement mill
Paper residuals Raw Mill
Ashes from inceneration processes Raw Mill/ Cement mill
Spent catalyst Cement mill
Trass Raw Mill/ Cement mill
6 Si – Al Clay Raw Mill
Bentonite / Kaolinite Raw Mill
Recidues from coal pre treatment Raw Mill
Crash glass Raw Mill
7 S Natural Gypsum Cement Mill
Chemical gypsum Cement Mill
Other gypsum from the chemical or ceramic industries Cement Mill
(sumber: Agus Erfien, Indocemen, 2006 )
Pada saat ini beberapa pabrik semen di Indonesia telah dan sedang memanfaatkan cangkang (kernel shell) dari kelapa sawit sebagai alternatif fuel. Sedangkan di Eropa alternatif fuel yang banyak dimanfaatkan adalah ban bekas dan limbah sludge domestik. Limbah padat yang bisa dimanfaatkan sebagai alternatif fuel lainnya antara lain: sludge (paper fiber, WWT sewage), packaging waste, carbon fly ash, bottom ash, paint residue, waste plastics, dan biomas seperti: rice husk, palm kernel shell, wastewood, baggase, waste paper, dan waste rubber. Sedangkan limbah cair yang dapat dipergunakan sebagai alternatif fuel anatara lain: waste oil & oiled water, sludge oil, slope oil & recovery oil, solvents dll.
Unsur-unsur kimia yang sangat diperlukan dalam pembuatan semen adalah Silicon (Si), Calcium (Ca), Besi (Fe), Alumunium (Al) dan Sulfur (S). Unsur unsur kimia yang diperlukan tersebut dapat diperoleh dari bahan baku utama proses produksi pabrik semen yang terdiri dari batu kapur, tanah liat, pasir silika, dan pasir besi serta bahan penolong berupa gypsum. Beberapa limbah industri dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku pembuatan semen. Limbah tersebut bisa dimasukkan pada proses raw mill atau pada proses cement mill.
Mengingat proses produksi semen ini menggunakan suhu yang sangat tinggi terutama pada proses pembakaran pada rotary kiln (1500 C), suhu dimana pembakaran limbah akan menghasilkan pembakaran sempurna. Namun demikian negara negara Eropa seperti Jerman dan Spanyol, telah memberlakukan peraturan yang ketat bagi limbah yang akan dimanfaatkan sebagai alternative bahan baku maupun bahan bakar. Limbah tersebut antara lain tidak boleh memiliki kandungan merkuri dan halogen melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan (Hg<10 mg/Kg, Halogen (Cl)<0.25%, dll).


VI. Kesimpulan
Solusi terbaik dari pengolahan limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri. Untuk meminimalkan biaya dan usaha yang harus dikeluarkan untuk pengolahan limbah ini dapat diterapkan produksi bersih (cleaner production) yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan terbentuknya limbah langsung pada sumbernya di seluruh bagian-bagian proses.
Tetapi ini harus diawali dengan penerapan kebijaksanaan pencegahan, penguasaan teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku manajemen. Setelah itu lebih baik lagi jika dilakukan penerapan : Reduce, recyle, and reuse.

Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan

I. Pendahuluan

Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata dan sebagainya. Karena itu pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 45, UU No. 5 tahun 1990, UU No 23 tahun 1997, UU No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan. Namun gangguan terhadap sumberdaya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.
Berbagai upaya pencegahan dan perlindungan kebakaran hutan telah dilakukan termasuk mengefektifkan perangkat hukum (undang-undang, PP, dan SK Menteri sampai Dirjen), namun belum memberikan hasil yang optimal. Sejak kebakaran hutan yang cukup besar tahun 1982/83 di Kalimantan Timur, intensitas kebakaran hutan makin sering terjadi dan sebarannya makin meluas. Tercatat beberapa kebakaran cukup besar berikutnya yaitu tahun 1987, 1991, 1994 dan 1997 hingga 2003. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan.




II. Penyebab Kebakaran Hutan

Analisis terhadap arang dari tanah Kalimantan menunjukkan bahwa hutan telah terbakar secara berkala dimulai, setidaknya sejak 17.500 tahun yang lalu. Kebakaran besar kemungkinan terjadi secara alamiah selama periode iklim yang lebih kering dari iklim saat itu. Namun, manusia juga telah membakar hutan lebih dari 10 ribu tahun yang lalu untuk mempermudah perburuan dan membuka lahan pertanian. Catatan tertulis satu abad yang lalu dan sejarah lisan dari masyarakat yang tinggal di hutan membenarkan bahwa kebakaran hutan bukanlah hal yang baru bagi hutan Indonesia (Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999).
Masalah kebakaran hutan telah menjadi isu nasional yang patut mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kejadian ini terjadi setiap tahun secara berulang, khususnya di Pulau Sumatera bagian selatan dan di Pulau Kalimantan. Perlu dipahami bahwa, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani, perusahaan-perusahaan perkebunan dan HTI, merupakan mata rantai yang tidak terputus yang terkait langsung dengan kebakaran hutan dan lahan ini. Dampak kebakaran hutan dan lahan yang paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang merugikan kesehatan masyarakat dan terganggunya sistem transportasi sungai, darat, laut, dan udara serta mempengaruhi sendi-sendi perekonomian lainnya.
Penyebab utama terjadinya kebakaran hutan di Kalimantan Timur adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, singkapan batu bara, dan tumpukan srasahan. Namun menurut Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran karena proses alam tersebut sangat kecil dan untuk kasus Kalimatan kurang dari 1 %.
Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:
1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.
2. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan, sehingga menimbulkan konflik antar hukum adat dan hukum positif negara.
Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di kawasan HPH.
Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.
Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidak adilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.



III. Kerugian dan Dampak

Kebakaran hutan akhir-akhir ini menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan yang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi, pencemaran kabut serta emisi karbon. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut juga mencemari udara dan meningkatkan gas rumah kaca.
Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.
Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan.



IV. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan

Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain :
• Memantapkan kelembagaan dan mengaktifkan supervisi (pemantauan dan pengawasan) Badan-badan Pengawasan kebakaran
• Mengaktifan dan pelatihan untuk meningkatkan kinerja para pekerja pemadam kebakaran hutan
• Melengkapi dan mengembangkan pedoman dan petunjuk teknis pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
• Melengkapi sarana dan prasarana peralatan pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan, termasuk didalamnya sistem informasi dan komunikasi serta alat transportasi
• Pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing (data dari masa lalu maupun hasil prediksi, survei desa, citra satelit)
• Melakukan sosialisasi (penyuluhan, pelatihan, dan simulasi pengendalian kebakaran hutan) bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan
• Standardisasi laporan pemantauan, peralatan, dan metode penanggulangan kebakaran hutan
• Pemberdayaan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat (pusat, provinsi, kabupaten / kota, sampai desa
• Perbaikan regulasi dan penerapan sangsi hukum pada pelaku pelanggaran khususnya yang memicu atau penyebab langsung terjadinya kebakaran
• Peningkatan koordinasi dengan instansi yang terkait
• Pemberian insentif kepada sekelompok atau seseorang yang mampu menjaga kawasannya dari kebakaran (instrument kebijakan : economic based policies)
Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan tidak akan memberikan hasil yang optimal jika hal-hal berikut juga tidak ditanggulangi :
• Penanggulangan kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan
• Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih rendah
• Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah
• Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan kebakaran hutan belum memadai



V. Penutup

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
• Kebakaran merupakan salah satu bentuk gangguan terhadap sumberdaya hutan yang menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya sangat luas, bahkan melintasi batas Negara
• Upaya pencegahan dan pengendalian belum memberikan hasil yang optimal, sehingga diperlukan perbaikan secara menyeluruh

Wednesday, May 5, 2010

Urgesi Audit Lingkungan

BAB I
PENDAHULUAN

1. GAMBARAN UMUM AUDIT LINGKUNGAN
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor : KEP-42 / MENLH / 11 / 94 bahwa definisi audit lingkungan adalah suatu alat manajemen yang meliputi evaluasi secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan objektif tentang bagaimana suatu kinerja organisasi, sistem manajemen dan peralatan dengan tujuan memfasilitasi kontrol manajemen terhadap pelaksanaan upaya pengendalian dampak lingkungan dan pengkajian pentaatan kebijakan usaha atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan lingkungan.
Audit lingkungan dilaksanakan secara internal sebagai bentuk kesadaran dari suatu usaha atau kegiatan untuk menunjukkan tanggung jawabnya terhadap pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Tujuan dari pelaksanaan audit lingkungan adalah untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin akan terjadi sehingga dapat dipersiapkan upaya-upaya pencegahannya.

2. FAKTA DI LAPANGAN
Mengingat begitu pentingnya pelaksanaan audit lingkungan, seharusnya ini menjadi suatu kegiatan yang dilakukan secara proaktif oleh pihak-pihak perusahaan. dikarenakan audit lingkungan esbagai suatu sistem manajemen maka pelaksanaannya akan dapat meningkatkan nama baik atau kredibilitas perusahaan dalam hal pengelolaan lingkungan.
Sebagai contoh pembahasan adalah wilayah Kalimantan, sekitar 160 juta ton dari 200 juta ton batubara diekspor ke mancanegara setiap tahunnya. Sisanya sebesar 40 juta ton untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan industri dalam negeri, terutama Jawa dan Sumatra. Ironisnya, Kalimantan hanya kebagian 4 juta ton sehingga tidak bisa lepas dari jeratan krisis listrik.
Contoh lain, luasan kuasa pertambangan (KP) batubara di Kalimantan Timur mencapai 3,08 juta Ha. Dibanding luas Kaltim 24,5 juta Ha, artinya 12,5 % luas wilayah Kaltim dikuasai oleh izin KP. (sumber : data Dinas Pertambangan dan Energi / Distamben Kaltim).
Jumlah di atas merupakan akumulasi izin yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dan kota sejak berlakunya otonomi 8 tahun yang lalu. Sedangkan jumlah KP se-Kaltim mencapai 1180 KP. Dari jumlah itu, 391 ribu Ha yang berasal dari 260 izin KP sudah masuk dalam tahap eksploitasi. Sedangkan 45 izin KP dalam tahap eksplorasi. Sisanya, sebanyak 469 izin KP masih dalam tahap penyelidikan umum. (sumber : Tribun Kaltim, 06 Juni 2009)
Untuk pembahasan lebih dalam selanjutnya adalah salah satu daerah di provinsi di Kalimantan Timur, yaitu kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Daerah ini mempunyai banyak sekali potensi kekayaan daerah yang cukup beragam, mulai dari bahan galian industri, bahan galian mineral logam dan energi serta bahan galian non migas. Sebagian sudah dikelola oleh investor dengan persyaratan melakukan pembangunan tertentu sesuai perjanjian dengan pihak pemerintah.
Tapi jika kita lihat pada kenyataannnya apa yang terjadi? Apakah semua berjalan baik-baik saja tanpa membawa pengaruh sedikitpun bagi lingkungan sekitar? Bagaimana sistem pengelolaannya ? Bagaimana kinerja sistem kontrol untuk menjadi acuan kegiatan mereka?


BAB II
PEMBAHASAN

Secara umum kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) merupakan daerah yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) pertambangan dan penggalian sangat besar dan beragam. Mulai dari bahan galian industri, bahan galian mineral logam dan energi, serta bahan non migas.
Potensi bahan galian industri :
a. Batu gunung seluas 1500 Ha dengan cadangan 480 juta m3, di Labangka
b. Lempung seluas 500 Ha dengan cadangan 11,5 juta m3, di Babulu
c. Pasir kwarsa ketebalan 1-6 m, ukuran butir 1/8 – ½ mm dengan kandungan mineral kwarsa 99,99 %, terbesar di Penajam dan Babulu
Potensi bahan galian mineral logam dan energi :
a. Logam (emas) dijumpai di daerah aliran sungai (DAS) Riko, hingga saat ini belum dieksploitasi
b. Minyak dan gas di wilayah kecamatan Penajam yang sedang diusahakan
c. Migas lepas pantai
d. Mineral energi (batubara) yang tersebar di seluruh wilayah kecamatan dengan luas 9757,435 Ha yang diusahakan oleh 8 perusahaan
Potensi bahan non migas :
a. Batu gamping, di kecamatan Babulu
b. Lempung, di Penajam dan Waru
c. Pasir kwarsa, di pantai Penajam dan Sepaku I – Sepaku III
d. Batubara, di Sepaku dan Rintik
Luas lahan pertambangan batubara di kabupaten PPU adalah seluas 9757,435 Ha. Dari data tahun 2007 didapatkan bahwa terdapat 33 perusahaan pertambangan yang melakukan kegiatannya di PPU. Kecamatan Sepaku merupakan kecamatan yang paling banyak terdapat perusahaan pertambangan, yaitu 16 KP dengan luas 3248,801 Ha.
Banyaknya KP mencerminkan pemerintah daerah seolah-olah seperti raja kecil di daerah. Ada kemungkinan bahwa penerbitan KP bukan untuk menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai modal pembangunan, tetapi adanya faktor-faktor kepentingan pribadi atau golongan tertentu dibaliknya.
Di luar faktor-faktor non teknis tersebut, perlu sekali diketahui bagaimana pelaksanaan audit lingkungan ataupun standardisasi dalam hal pengelolaan lingkungan yang akan dan telah dilaksanakan oleh KP-KP tersebut. Berita terakhir yang ada dari media, bahwa pihak pemerintah PPU telah bersikap tegas dengan mencabut 19 KP batubara yang tidak serius dalam melaksanakan tahapan pertambangan. (sumber : Kompas, 10 Maret 2010)
Sebagaimana yang telah dilakukan anggota Komisi III DPRD Penajam Paser Utara (PPU), melakukan inspeksi mendadak (Sidak) untuk melihat aktivitas penambangan batu bara di Kecamatan Sepaku. Selain meninjau KP milik PT Bara Utama Jaya dan PT Harapan Kota Tepian, Komisi III juga mengunjungi pelabuhan batu bara milik PT Singlurus Pratama di Kelurahan Mentawir. (sumber : Tribun Kaltim, 27 Januari 2010)
Sidak pertama dilakukan di lokasi pertambangan milik PT Bara Utama Jaya dan PT Harapan Kota Tepian yang berada di Bukit Tengkorak, Sepaku. Disini tumpukan batu bara yang berada di lokasi itu terbakar sejak Desember tahun lalu, dimana jumlahnya mencapai 4.000 ton.
Melihat kasus seperti ini diharapkan tidak akan terulang lagi, karena sampai sekarang seolah tidak ada bentuk dan pihak yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Jika kita melihat dari sisi lingkungan hidup, lingkungan menjadi rusak akibat kegiatan pertambangan. Dari sisi ekonomis perusahaan, batubara yang telah dieksploitasi menjadi sia-sia tanpa membawa manfaat apapun. Padahal dapat dibayangkan, berapa lama waktu yang diperlukan hingga batubara tersebut terbentuk. Dari sisi jalannnya proses pembangunan daerah, tentu saja mengganggu investasi di kabupaten PPU.
Wacana mengenai audit lingkungan mulai banyak diperbincangkan ketika Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) berpendapat bahwa sistem AMDAL yang telah ada akan lebih baik jika dilengkapi dengan audit lingkungan. Namun pada kenyataannya, masih sangat sulit melihat terjadinya proses audit lingkungan oleh pelaku-pelaku usaha, karena yang ada hanyalah kesukarelaan.
Berbicara mengenai audit lingkungan, ini adalah sebuah alat untuk menjaga kualitas lingkungan hidup. Lebih jelasnya, audit lingkungan adalah suatu dokumen yang dibuat oleh perusahaan yang mempunyai usaha, dimana usahanya tersebut mempunyai potensi untuk merusak lingkungan. Audit lingkungan diperiksa secara berkala untuk mengawasi atau mengontrol dampak perusakan lingkungan yang ditimbulkan. Karena dengan dokumen AMDAL saja tentu tidak cukup untuk mewadahi semua kegiatan atau tahap-tahap produksi.
Dari pihak pendidikan sebagai saran bagi pemerintah untuk mempertegas masalah pengawasan terhadap KP batubara yang ada. Tetapi juga memberikan dukungan atau bantuan kemudahan kepada KP-KP tersebut untuk melaksanakan audit lingkungan. Tanpa mengurangi keseriusan mereka dalam melaksanakan audit lingkungan, karena sifat pelaksanaannya adalah sebuah kesukarelaan.
Audit lingkungan harus dilakukan untuk memanfaatkan potensi yang ada sebagai modal pembangunan agar lebih efektif dan efisien. Selain itu, untuk menjaga lingkungan dan segala isinya agar tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai tempat hidup yang layak. Dan juga sebagai upaya mengidentifikasi permasalahan lingkungan yang akan timbul sehingga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahannya.
Dari contoh kejadian nyata mengenai kurangnya perencanaan yang matang dan perhitungan-perhitungan yang akurat dari pelaksanaan jalannya kegiatan perusahaan batubara yang terjadi di Sepaku tersebut, diperlukan sebuah komponen yang mengatur ketatalaksanaan kegiatan perusahaan. Disini dapat dilihat seberapa penting penerapan audit lingkungan.
Jika ditelaah lebih lanjut pelaksanaan audit lingkungan bagi pihak perusahaan bukan menjadi suatu hal yang harus dipaksakan, karena dapat meningkatkan kemungkinan kelangsungan perusahaan. Mengingat objek-objek yang diaudit sangat luas dan dilakukan secara mendetail serta periodik, baik dari sisi organisasi, manajemen, peralatan, proses, dan lain-lain. Sehingga audit lingkungan menjadi sebuah jaminan atas keberadaan perusahaan.
Jadi sudah sewajarnya terjadi perubahan cara berpikir dari pelaksanaan audit lingkungan yang bersifat ”hanya sukarela” menjadi pelaksanaan audit yang bersifat ”benar-benar suka dan rela”.









BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Mengingat pentingnya audit lingkungan untuk dilaksanakan, terutama di perusahaan-perusahaan batubara yang sangat banyak jumlahnya di wilayah Kalimantan Timur pada umumnya, dan kabupaten Penajam Paser Utara pada khususnya diperlukan keseriusan dari pemerintah daerah untuk melakukan penegasan pelaksanaan audit lingkungan. Sampai pada keberlanjutan pengawasan dan evaluasi tentunya.

2. SARAN
Untuk mempermudah pihak perusahaan, pemerintah dapat menjadi penghubung antara pihak perusahaan dengan auditor.

Desain Penelitian

Pengertian desain penelitian
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitiannya.
Dalam pengertian yang luas desain penelitian mencakup berbagai hal yang dilakukan oleh peneliti, termasuk didalamnya :
1. Identifikasi masalah
2. Perumusan hipotesis
3. Operasionalisasi hipotesis
4. Analisis data
Dalam pengertian yang sempit desain penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian, sehingga berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan penelitian.

Fungsi desain penelitian
1. Sarana bagi peneliti untuk mencapai tujuan penelitian atau memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian dengan shahih, objektif, akurat serta hemat
2. Alat untuk mengontrol atau mengendalikan berbagai variabel yang berpengaruh pada suatu penelitian

Hal-hal sebelum menentukan jenis desain penelitian
1. Penentuan apakah akan melakukan intervensi dalam penelitian tersebut, yaitu dengan melakukan :
a) Studi intervensional : dengan melakukan eksperimen
b) Studi observasional : dengan melakukan pengamatan
2. Jika dipilih studi observasional, apakah peneliti akan mengadakan penelitian :
a) Sewaktu : dengan melakukan studi cross sectional
b) Follow-up dalam jangka waktu tertentu : dengan melakukan studi longitudinal
3. Apakah akan dilakukan :
a) Studi retrospektif : meneliti peristiwa yang sudah berlangsung
b) Studi prospektif : mengikuti subjek untuk meneliti peristiwa yang belum terjadi

Hal-hal dalam desain penelitian
Dalam desain penelitian ada beberapa pertanyaan yang harus kita jawab, misalnya :
1. Observasi apa yang harus dilakukan
2. Bagaimana cara melakukan pengukurannya
3. Bagaimana melakukan analisis terhadap hasil pengukuran
4. Yang manakah yang termasuk variabel bebas dan variabel tergantungnya
5. Yang manakah yang bersifat variabel aktif dan variabel atributnya
6. Variabel aktif apa saja yang akan diubah
7. Bagaimana kategorisasi serta cara pengukuran variabel atribut
8. Prediksi atau kemungkinan kesimpulan apa saja yang akan timbul

Desain dalam melaksanakan penelitian
Menurut Schuman yang dikutip oleh Natsir (1988) desain dalam pelaksanaan penelitian dibagi menjadi :
1. Desain sampel
Berhubungan dengan perencanaan pemakaian atau perolehan data.
2. Desain instrumen
Berhubungan dengan instrumen atau alat yang dipilih untuk mengumpulkan data. Sehingga perlu diketahui pula bagaimana mengevaluasi instrumen pengumpul data yang baik, agar data yang akan didapat cocok dengan apa yang dibutuhkan.
3. Desain analisis
Dalam desain analisis memerlukan alat-alat analisis, seperti pemakaian metode statistika yang sudah sangat berkembang. Akan tetapi dalam riset social masih terkesan.
4. Desain administrasi
Pelaporan hasil penelitian secara tertulis hendaknya sesuai dengan standar umum yang berlaku.

Jenis desain penelitian
Pengelompokan desain penelitian sangat beragam, ini dapat dilihat dari macam-macamnya pendapat para ahli.
1. Menurut McGrath (1970), membagi menjadi :
· Percobaan dengan kontrol
· Studi
· Survei
· Investigasi
· Penelitian tindakan
2. Menurut Selltiz (1964), membagi menjadi :
· Eksploratif
· Deskripif
· Kausal
3. Menurut Barnes (1964), membagi menjadi :
· “Sebelum-sesudah” dengan kelompok kontrol
· “Sesudah saja” dengan kelompok kontrol
· “Sebelum-sesudah”dengan satu kelompok
· “Sesudah saja” tanpa kontrol
· Ex post facto
4. Menurut Shah (1972), membagi menjadi :
· Penelitian yang ada kontrol
· Studi deskriptif dan analitis
· Studi lapangan
· Studi dengan dimensi waktu
· Studi evaluatif-non evaluatif
· Menggunakan data primer atau sumber data sekunder
5. Menurut buku-buku teks keluaran tahun 1990-an, pada umumnya mengikuti pendapat Selltiz, yaitu :
· Eksploratif : menguji hipotesis berdasarkan data masa lampau atau teori-teori yang ada. Dapat dengan mencari ide-ide atau hubungan-hubungan yang baru.
Contoh : persoalan dimana karyawan mengalami kepuasan kerja yang rendah, sehingga sering timbul masalah di peusahaan. Disini peneliti akan mengira-ngira faktor penyebabnya. Misalnya karena bosan atau jenuh, selanjutnya dicari elemen-elemen dari bosan atau jenuh tersebut mengapa dianggap sebagai penyebab timbulnya masalah diatas.
· Deskriptif : menguraikan sifat atau karakteristik dari suatu fenomena tertentu. Tujuan desain ini mengumpulkan fakta dan menguraikannya secara menyeluruh dan teliti.
Contoh : kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh supervisi. Disini peneliti dapat menggali informasi dan mendeskripsikan supervisi seperti apa yang baik dalam rangka meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
· Kausal : menganalisis hubungan-hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya.
Contoh : penelitian untuk menjawab pertanyaan pengusaha mengenai perkembangan produktifitas kerja karyawan serta anggaran untuk kenaikan gaji pada masa yang akan datang.

Desain untuk penelitian kualitatif dan kuantitatif
1. Penelitian kualitatif
· Umumnya sulit diberikan pembenaran secara matematik, karena sifatnya lebih kepada penyampaian perasaan atau tingkat wawasan yang datanya diambil dari sampel.
· Data yang didapat dalam bentuk skala nominal, ordinal atau interval.
· Penyesuaian kategori dengan data, bukan data yang disesuaikan berdasarkan kategori.
2. Penelitian kuantitatif
· Berdasarkan pada data yang dapat dihitung untuk mendapatkan penaksiran kuantitatif yang kokoh.
· Data yang didapat dalam bentuk skala rasio

Pemilihan desain penelitian
Tidak ada jenis penelitian yang lebih unggul daripada yang lain, karena jenis penelitian yang dipilih berhubungan erat dengan tujuan penelitian yang ditentukan. Selain itu, satu jenis penelitian justru dapat menunjang jenis penelitian yang lain
Sehingga pemilihan desain penelitian dilihat dari segi baik atau tidak baiknya penggunaan jenis desain penelitian tertentu untuk jenis penelitian tertentu. Pemilihannya disesuaikan dengan kondisi serta kedalaman dan keluasan penelitian yang akan dilakukan.