Tulisan pertama
nih tentang kerjaan, padahal udah banyak hal baru, istilah baru dan pengalaman
baru yang didapat. Cukup didengar lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga
kiri, ga ada yang nyangkut diotak. Bukan karena ga mau mengingat yaaa, hanya
saja otak ini udah penuh dengan urusan bumbu, wajan dan dapur, hahaha…
Nah karena
pernah buat blog alakadarnya, disimpan disini ajah jadi kapan-kapan kalo dibaca
lagi bisa inget lagi. Back to focus, ciehhh… harus serius nih. Menyerap materi
dari Big Boss yang membahas tentang Penyusunan Dokumen Amdal Perusahaan Tambang
Batubara PT tiiiiiiitttt di kabupaten Kutai tiiiiiiiitttt (sensored) yaitu komponen-komponen
sosial terkena dampak, khususnya BUDAYA. Data dan informasi mengenai adat istiadat masyarakat setempat sangat perlu
diketahui, karena terkait dengan penyelesaian
konflik jika hal tersebut terjadi di masyarakat.
Adat istiadat dilokasi studi harus diberi
perhatian khusus, salah satu contoh adalah “Tuhing” (kalo salah
map loh, nie atas penjelasan dari The Big Boss). Tuhing
adalah suatu adat istiadat yang sangat kental dan krusial
dalam kehidupan bermasyarakat pada suku Dayak Wehea
yang mendiami beberapa desa diwilayah studi, yakni Desa Benhes, Deabeq dan
Diaklay.
Dalam aplikasi adat ini yaitu mengharuskan
seluruh anggota masyarakat adat tidak melakukan aktivitas seperti bekerja, bepergian dan menimbulkan suara berisik, bahkan melarang orang luar untuk memasuki kawasan pemukiman penduduk desa. Tuhing dilaksanakan pada saat upacara kematian dan saat tertentu dari rangkaian Upacara Erau kampung.
Terkait dengan aktivitas penambangan yang berpotensi
menimbulkan dampak adalah saat kegiatan OB yang dilakukan secara blasting.
Suara ledakan Handak diperkirakan mencapai kawasan pemukiman penduduk di 3
desa. Apabila saat kegiatan bertepatan dengan adanya “Tuhing” didesa, maka hal
ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial.
Selain itu,
cara bercocok tanam mereka yang unik. Yang pertama, hanya satu kali bercocok
tanam pada areal lahan tertentu. Alasannya,
jika suatu areal lahan ditanami sampai dua kali atau bahkan berkali-kali
dilahan tersebut akan tumbuh alang-alang. Yaahh, para ahli menggunakan
alang-alang sebagai indikator lahan kritis. Hebat kan mereka yang lebih tau
dulu, kereeen…
Yang kedua,
berdasarkan pengalaman senior-senior nih karena tugasnya “merayu” masyarakat
agar menerima beroperasinya perusahaan maka boleh donk kalo pake cara-cara suap
sederhana hehehe (hak paten bangsaku ini). Niat hati membantu peralatan
berladang semacam cangkul, sabit, parang de el el tapiiii malah ditolak. Nah
gimana nie cerita selanjutnya???? Setelah cek ricek kesana kemari, alasannya
adalah mereka tidak pernah bertanam dengan senjata tajam macam itu karena
Mereka Tidak Ingin Membuat Tanah Terluka. Mmmmm so sweet… Bahkan saat
menggunakan Tugal, mereka tidak mau menggunakan tugal lancip cukup dengan tugal yang tumpul, dengan alasan
yang sama saudara-saudara.
Betapa besar
cinta mereka kepada bumi yang duwujudkan dengan hal-hal sederhana tapi
berimplikasi cukup besar, dibandingkan dengan kita yang tinggal di kota dan
kehidupan yang serba modern plus fasilitas-fasilitas hi-tech (mbacanya dengan gaya Bapak Habibie yaah). Udah deh ini
aja, jadi kalo kapan-kapan dapet deadline Dokumen Amdal yang temanya sama,
tinggal copas deh, whahahah… #devillaugh
No comments:
Post a Comment
ditunggu commentnya...