Friday, November 23, 2012

The “tuhing” Sacred




Tulisan pertama nih tentang kerjaan, padahal udah banyak hal baru, istilah baru dan pengalaman baru yang didapat. Cukup didengar lewat telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri, ga ada yang nyangkut diotak. Bukan karena ga mau mengingat yaaa, hanya saja otak ini udah penuh dengan urusan bumbu, wajan dan dapur, hahaha… 


Nah karena pernah buat blog alakadarnya, disimpan disini ajah jadi kapan-kapan kalo dibaca lagi bisa inget lagi. Back to focus, ciehhh… harus serius nih. Menyerap materi dari Big Boss yang membahas tentang Penyusunan Dokumen Amdal Perusahaan Tambang Batubara PT tiiiiiiitttt di kabupaten Kutai tiiiiiiiitttt (sensored) yaitu komponen-komponen sosial terkena dampak, khususnya BUDAYA. Data dan informasi mengenai adat istiadat masyarakat setempat sangat perlu diketahui, karena terkait dengan penyelesaian konflik jika hal tersebut terjadi di masyarakat.
Adat istiadat dilokasi studi harus diberi perhatian khusus, salah satu contoh adalah “Tuhing” (kalo salah map loh, nie atas penjelasan dari The Big Boss). Tuhing adalah suatu adat istiadat yang sangat kental dan krusial dalam kehidupan bermasyarakat pada suku Dayak Wehea yang mendiami beberapa desa diwilayah studi, yakni Desa Benhes, Deabeq dan Diaklay. Dalam aplikasi adat ini yaitu mengharuskan seluruh anggota masyarakat adat tidak melakukan aktivitas seperti bekerja, bepergian dan menimbulkan suara berisik, bahkan melarang orang luar untuk memasuki kawasan pemukiman penduduk desa. Tuhing dilaksanakan pada saat upacara kematian dan saat tertentu dari rangkaian Upacara Erau kampung.
Terkait dengan aktivitas penambangan yang berpotensi menimbulkan dampak adalah saat kegiatan OB yang dilakukan secara blasting. Suara ledakan Handak diperkirakan mencapai kawasan pemukiman penduduk di 3 desa. Apabila saat kegiatan bertepatan dengan adanya “Tuhing” didesa, maka hal ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial.
Selain itu, cara bercocok tanam mereka yang unik. Yang pertama, hanya satu kali bercocok tanam  pada areal lahan tertentu. Alasannya, jika suatu areal lahan ditanami sampai dua kali atau bahkan berkali-kali dilahan tersebut akan tumbuh alang-alang. Yaahh, para ahli menggunakan alang-alang sebagai indikator lahan kritis. Hebat kan mereka yang lebih tau dulu, kereeen…
Yang kedua, berdasarkan pengalaman senior-senior nih karena tugasnya “merayu” masyarakat agar menerima beroperasinya perusahaan maka boleh donk kalo pake cara-cara suap sederhana hehehe (hak paten bangsaku ini). Niat hati membantu peralatan berladang semacam cangkul, sabit, parang de el el tapiiii malah ditolak. Nah gimana nie cerita selanjutnya???? Setelah cek ricek kesana kemari, alasannya adalah mereka tidak pernah bertanam dengan senjata tajam macam itu karena Mereka Tidak Ingin Membuat Tanah Terluka. Mmmmm so sweet… Bahkan saat menggunakan Tugal, mereka tidak mau menggunakan tugal lancip  cukup dengan tugal yang tumpul, dengan alasan yang sama saudara-saudara.
Betapa besar cinta mereka kepada bumi yang duwujudkan dengan hal-hal sederhana tapi berimplikasi cukup besar, dibandingkan dengan kita yang tinggal di kota dan kehidupan yang serba modern plus fasilitas-fasilitas hi-tech (mbacanya dengan gaya Bapak Habibie yaah). Udah deh ini aja, jadi kalo kapan-kapan dapet deadline Dokumen Amdal yang temanya sama, tinggal copas deh, whahahah… #devillaugh

No comments:

Post a Comment

ditunggu commentnya...